Gapki Optimistis Ekspor CPO Indonesia Tetap Kuat di Pasar Amerika

Rabu, 29 Oktober 2025 | 11:18:29 WIB
Gapki Optimistis Ekspor CPO Indonesia Tetap Kuat di Pasar Amerika

JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menegaskan keyakinannya bahwa kinerja ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

Indonesia ke Amerika Serikat (AS) akan tetap solid meskipun Presiden Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif baru bagi sejumlah negara Asia Tenggara. Dalam kebijakan tersebut, Malaysia, Kamboja, dan Thailand mendapatkan tarif 0% untuk sejumlah produk ekspor, termasuk minyak sawit, kakao, dan karet.

Sementara Indonesia masih dikenakan tarif 19%, namun Gapki menilai hal itu tidak akan banyak berpengaruh terhadap pangsa pasar sawit nasional di AS. 

Ketua Umum Gapki Eddy Martono menjelaskan, dominasi pasar Indonesia di Negeri Paman Sam sangat kuat, yakni mencapai 89,9% atau hampir 90% dari total impor CPO di negara tersebut.

“Market share kita di AS itu sangat tinggi, hampir 90%. Jadi kami masih optimistis untuk pasar Amerika, kondisinya masih cukup bagus,” ujar Eddy dalam konferensi pers di Jakarta. 

Ia menambahkan, meski secara tarif Indonesia belum mendapatkan perlakuan serupa dengan Malaysia, namun dari sisi volume perdagangan, posisi Indonesia masih mendominasi.

Selain AS, tiga negara tujuan ekspor utama CPO Indonesia lainnya adalah China, India, dan Pakistan. Keempat negara tersebut menyerap sebagian besar produksi sawit nasional, yang menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor nonmigas Indonesia.

Kondisi Pasar dan Tren Ekspor CPO ke Amerika

Eddy mengakui bahwa ekspor sawit ke AS sempat mengalami penurunan pada periode 2023–2024. Meskipun begitu, pelaku usaha menargetkan pengiriman tahun ini bisa setidaknya menyamai capaian tahun sebelumnya. 

Gapki memandang stabilitas permintaan global terhadap minyak sawit masih cukup kuat, terutama untuk kebutuhan industri pangan, kosmetik, dan energi terbarukan.

“Memang terjadi penurunan di 2023–2024. Mudah-mudahan bisa kembali seperti 2023, walaupun agak susah. Paling tidak sama dengan 2024. Tapi artinya pangsa pasar kita di Amerika masih cukup bagus,” jelas Eddy.

Optimisme ini juga didukung oleh minimnya isu negatif terhadap industri sawit Indonesia di pasar Amerika. Tidak seperti di Eropa, yang kerap mengaitkan sawit dengan isu lingkungan, deforestasi, maupun tenaga kerja, pasar AS dinilai lebih fokus pada efisiensi perdagangan dan kualitas produk.

“Di Amerika kita tidak ada isu. Isu tenaga kerja tidak ada, isu trade labor juga nggak ada. Jadi ini cukup bagus,” tegas Eddy.

Faktor lain yang memperkuat posisi Indonesia adalah keberlanjutan pasokan dan kemampuan industri sawit dalam memenuhi standar mutu internasional. 

Gapki menilai konsistensi dalam menjaga kualitas, sertifikasi keberlanjutan, serta efisiensi rantai pasok akan menjadi faktor penentu dalam mempertahankan keunggulan ekspor CPO nasional di tengah dinamika kebijakan global.

Kebijakan Tarif Baru Trump dan Dampaknya terhadap Persaingan

Kebijakan tarif 0% yang diberikan Presiden Trump kepada Malaysia, Kamboja, dan Thailand diumumkan dalam KTT ASEAN di Kuala Lumpur. Kebijakan ini merupakan bagian dari kesepakatan perdagangan resiprokal baru antara Amerika Serikat dan negara-negara Asia Tenggara. 

Sebelumnya, ketiga negara tersebut dikenakan tarif 19%, namun kini mendapatkan pembebasan untuk sejumlah produk unggulan seperti peralatan kedirgantaraan, produk farmasi, serta komoditas pertanian termasuk minyak sawit.

Meski begitu, pelaku industri dalam negeri tidak melihat kebijakan ini sebagai ancaman langsung terhadap ekspor CPO Indonesia. Gapki menilai bahwa Malaysia memiliki kapasitas produksi dan pasokan yang berbeda, serta pangsa pasar yang tidak sebesar Indonesia di AS.

Eddy menegaskan bahwa pasar sawit di Amerika tetap membutuhkan suplai dari Indonesia karena volume kebutuhan industri minyak nabati di sana jauh lebih besar daripada kapasitas pasokan Malaysia. “Pasar AS tetap butuh Indonesia karena skala dan keberlanjutan pasokan kita jauh lebih stabil,” katanya.

Selain itu, pemerintah dan pelaku industri terus berupaya memperluas kerja sama bilateral dan diversifikasi pasar ekspor, termasuk memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara di kawasan Amerika Latin dan Timur Tengah. Langkah ini dilakukan agar industri sawit nasional tidak terlalu bergantung pada satu wilayah tujuan ekspor.

Prospek Industri Sawit Nasional dan Daya Saing Global

Gapki menilai bahwa potensi industri sawit Indonesia masih sangat besar dalam jangka panjang, terutama dengan program peningkatan produktivitas kebun rakyat, pengembangan hilirisasi produk turunan sawit, serta implementasi bioenergi berbasis sawit seperti B35 dan B50.

Dengan kontribusi besar terhadap devisa negara dan penyerapan tenaga kerja, sektor sawit menjadi salah satu pilar utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang inklusif. 

Melalui pendekatan berkelanjutan dan penerapan standar lingkungan yang lebih baik, Indonesia diyakini dapat terus mempertahankan posisi sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia.

Ke depan, Gapki bersama pemerintah berkomitmen untuk memperkuat diplomasi ekonomi, memperluas pangsa pasar, dan meningkatkan daya saing ekspor sawit melalui peningkatan kualitas, efisiensi, dan keberlanjutan produksi.

Kebijakan tarif baru AS, menurut Gapki, justru menjadi momentum untuk memperkuat daya tahan industri sawit Indonesia di tengah persaingan global. “Kami percaya, dengan kekuatan produksi dan kualitas yang kami miliki, industri sawit nasional tetap akan menjadi tulang punggung ekspor Indonesia,” tutup Eddy.

Terkini