JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil langkah strategis untuk memperkuat industri perbankan syariah melalui penerbitan dua peraturan terbaru.
Langkah ini ditujukan untuk memastikan Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) memiliki struktur permodalan dan likuiditas yang tangguh, efisien, serta selaras dengan standar internasional.
Dengan penguatan ini, industri perbankan syariah diharapkan mampu bersaing secara global dan menghadapi dinamika pasar keuangan dengan lebih percaya diri.
Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, menekankan pentingnya regulasi ini bagi ekosistem perbankan syariah.
“Langkah ini bertujuan agar perbankan syariah memiliki kapasitas yang cukup dalam menghadapi perubahan pasar serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap layanan keuangan syariah,” ujarnya.
Dengan pendekatan ini, OJK ingin memastikan bahwa perbankan syariah nasional tidak hanya sehat secara internal, tetapi juga mampu menghadapi persaingan global, memanfaatkan peluang investasi, dan beradaptasi dengan perkembangan ekonomi dan teknologi finansial.
Likuiditas dan Pendanaan Stabil Diperkuat
Salah satu peraturan, POJK Nomor 20 Tahun 2025, mewajibkan BUS dan UUS menjaga rasio kecukupan likuiditas jangka pendek (Liquidity Coverage Ratio/LCR) dan rasio pendanaan stabil bersih jangka panjang (Net Stable Funding Ratio/NSFR) minimal 100 persen.
Ketentuan ini dirancang agar bank memiliki likuiditas yang memadai serta pendanaan jangka panjang yang stabil, sehingga dapat mengantisipasi perubahan kebutuhan dana akibat dinamika pasar.
Pelaksanaan rasio LCR dan NSFR akan dilakukan secara bertahap mulai tahun 2026 hingga 2028, dengan pelaporan dan publikasi secara periodik. Standar ini mengacu pada regulasi global Basel III dan Guidance Note GN-6 dari Islamic Financial Services Board (IFSB).
Penerapan rasio ini juga mendorong manajemen risiko lebih baik, memberikan sinyal positif bagi investor, dan memperkuat fondasi perbankan syariah di Indonesia.
Struktur Permodalan Lebih Kuat dengan Leverage Ratio
Selain likuiditas, OJK memperkuat struktur permodalan BUS melalui POJK Nomor 21 Tahun 2025 yang mewajibkan penerapan Leverage Ratio. Rasio ini menjadi tolok ukur bagi bank dalam mengembangkan bisnis secara proporsional terhadap modal yang tersedia.
BUS diwajibkan menjaga leverage ratio minimal 3 persen setiap saat agar operasional bank tetap sehat dan pertumbuhan bisnis seimbang dengan kapasitas modal.
Kewajiban pelaporan leverage ratio akan mulai berlaku pada posisi akhir triwulan pertama 2026, sementara publikasi pertama dijadwalkan pada September 2026.
Dengan adanya rasio ini, perbankan syariah dapat meningkatkan kesadaran industri dalam mengelola risiko, memastikan ekspansi usaha tetap aman, dan menjaga daya tahan menghadapi tekanan ekonomi maupun fluktuasi pasar global.
Kepatuhan dan Daya Saing Global
POJK ini menjadi implementasi pengukuran permodalan sesuai standar internasional Basel III dan IFSB-23.
“Dengan terbitnya POJK Leverage Ratio bagi BUS, OJK mendukung terciptanya struktur permodalan yang kuat sehingga menjadi pondasi bagi sistem perbankan syariah yang sehat, berkembang, dan berdaya saing global,” ungkap Ismail Riyadi.
Bank yang tidak memenuhi ambang batas dapat mengajukan rencana tindak kepada OJK untuk perbaikan. Ketidakpatuhan dapat dikenai sanksi administratif, baik berupa denda maupun tindakan non-denda.
Pengawasan ini memastikan perbankan syariah tetap stabil, aman, dan mampu berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan kepatuhan yang konsisten, industri perbankan syariah juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan, mendukung ekspansi bisnis, serta menyiapkan diri menghadapi persaingan global dengan lebih siap.
 
                    
 
             
                   
                   
                   
                   
                   
                   
                
            